Situs Resmi DPP IAEI - Contact Center 021-3840059
Tetap Terhubung Bersama IAEI di Media Sosial Facebook , TwitterInstagram dan Youtube Channel dengan tagar #EkonomiIslam

Memahami Ekonomi Syariah (Part I)

Updated: Friday 19 September 2014 - 22:54 Kategori: Ekonomi Syariah Posted by: Ricky Dwi Apriyono

Dalam harian Republika senin 3 maret 2014, dalam tulisannya berjudul Elitisasi Ekonomi Syariah, Pakkana menulis Banyak persoalan ekonomi di tingkat grass- root luput dari pengamatan dan aksi affirmatif dari penggiat ekonomi syariah. Persoalan advokasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat vulnerable misalnya, tampak minimalis. Kendati ada gerakan pemberdayaan, terlihat lebih banyak dari kelompok keswadayaan yang berlabel zakat, infak dan sedekah (ZIS). Tapi, itupun belum masif dibanding gerakan industri keuangan syariah yang bergerak elitis dan beternak uang. Demikian juga di tingkat discourse kebijakan ekonomi. Tatkala hangat perdebatan tentang pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM), kedaulatan pangan, kedaulatan energi, eksploitasi sumberdaya alam yang berlebih, rekolonialisasi ekonomi, kesenjangan ekonomi yang makin menganga, desentralisasi fiskal, dan lainnya, tampaknykelompok pegiat ekonomi syariah kerap kurang populer  memperlihatkan  coraknya. Kalaupun terlibat, lebih banyak berada pada tataran wacana dan ideologi eksklusif-ekstrem yang rapuh kerangka filosofisnya.

Dari tulisan tersebut, setidaknya ada 3 persoalan ayang ingin diangkat Pakkana sekaligus  kritik  terhadap perkembangan ekonomi syariah di tanaair. Pertama, adalah ekonomi syariah terjebak kepada keuangan syariah yang menurut beliau cenderung kepada beternak uang, kedua, persoalan zakat yang belum masif seperti masifnya  gerakan  industri  keuangasyariah,  dan  ketiga,  persoalan  sektor  riil, terutama ekonomi sumberdaya alam, yang masih luput dari pegiat ekonomi syariah. Mari kita lihat persoalan tersebut satu persatu.

Pertama, ekonomi syariah terjebak kepada keuangan syariah. Perlu dipahami, pintu masuk ekonomi syariah adalah lembaga keuangan syariah. Dan dari seluruh lembaga keuangan, bank dulu yang mendapat prioritas untuk disyariahkan, mengapa? Karena lebih dari 90 persen uang beredar adanya di bank. Jadi, kalau bank berhasil disyariahkan, maka upaya untuk mensyariahkan ekonomi akan lebih cepat. Hanya saja yang harus kita pahami adalah, bank syariah muncul dan berusaha berdiri tegak di tengah-tengah derasnya bank berbasis riba.

Nah, dalam perjalanannya, menjalankan bank syariah ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam situasi hegemoni bank riba. Kita tidak bisa mengatakan, Konsep  fiqh muamalahnyseperti  ini,  lalu  terapkan  saja  di  bank syariah, Selesai.  Ternyata tidak sesederhana itu.  Kalau konsep fiqh itu diterapkan, maka bank syariah hari ini dibuka, besok akan tutup. Mengapa?  Karena prinsip bagi hasil yang diterapkan di bank syariah akan menimbulkan konsekuensi berkurangnya uang nasabah di bank jika usaha yang dijalankan bank mengalami kerugian. Apakah masyarakat siap jika uangnya yang disimpan di bank berkurang? Tentu tidak. Oleh karena itu, dicarilah akad yang berbasis jual beli, meskipun mengakibatkan hutang, seperti murabahah, karena keutungannya jelas, meskipun bukan tidak mengandung resiko ketika gagal membayar cicilannya.

Lanjut ke Part II



comments powered by Disqus