Nah, ketika bank syariah masif mempraktekkan murabaha ini, maka konsekuensinya memang seolah olah tidak berbeda dengan bank konvensional, karena sama sama meninggalkan hutang yang harus dibayar dengan pendapatan yang sifatnya fix. Padahal, keduanya sangat berbeda. Dalam murabaha, terjadi jual beli putus, dimana harga sudah pasti, kemudian tinggal di cicil. Jika terjadi menunggak, klien tidak dikenakan tambahan yang harus dibayarkan seperti di bank konvensional, tetapi membayar penalti yang nantinya akan diserahkan ke lembaga sosial seperti lembaga zakat infak dan sedekah (ZIS). Jadi, tidak ada beternak uang. Beternak uang diartikan sebagai uang yang menghasilkan uang dengan berjalannya waktu. Jika menunda pembayaran, dikenakan tambahan (riba) yang berlipat-lipat. Beternak uang diartikan dari „tidak ada menjadi ada‟. Dalam murabaha tidak ada beternak uang. Ketika menunda pembayaran, penalti akan dikenakan kepada klien yang nantinya diserahkan kepada lembaga zakat, bukan diambil dan dimiliki oleh bank. Cara inipun diambil sebagai upaya agar klien membayar cicilannya tepat waktu. Jadi, klaim bahwa bank syariah beternak uang sama sekali salah. Namun, murabaha yang mendominasi pembiayaan syariah juga tidak dapat dibiarkan terus menerus. Harus beralih ke pembiayaan bagi hasil. Ke arah inilah kita semua menuju, yang saya istilahkan “towards islamic financial system”. Dari uraian diatas, sangat diperlukan integrasi lembaga keuangan syariah dengan lembaga zakat. Semakin banyak yang menunggak, semakin besar perolehan lembaga zakat. Besarnya perolehan lembaga zakat ini dapat digunakan untuk kegiatan sosial seperti membeli ambulance, dan lain-lain.
Lembaga keuangan syariah dalam hal ini bank syariah harus untung, karena ini adalah lembaga bisnis, bukan lembaga sosial. Lembaga bisnis yang harus menggaji karyawannya, membayar biaya-biaya overhead, operasional, dll.Lembaga bisnis yang harus berkembang, bukan stagnan, apalagi mati. Oleh karena itu, bank syariah diharuskan untuk untung, karena sifatnya bisnis. Ketika dihadapkan dengan harus untung dan membayar semua biaya-biaya, maka kerap margin yang diterapkan di bank syariah, terkesan lebih mahal dari bank konvensional. Namun, ini sekali lagi adalah masalah economic of scale. Efisiensi bank syariah dengan aset yang lebih besar akan lebih tinggi daripada bank yang asetnya lebih kecil (lihat hasil penelitian Endri, Tazkia, 2011). Modal bank syariah belum cukup besar untuk menetapkan margin yang kecil. Oleh karena itu, strategi yang dilakukan adalah memperbesar kue market share perbankan syariah seperti strategi yang ditempuh oleh Bank Indonesia selama ini.
Lanjut ke Part III