Situs Resmi DPP IAEI - Contact Center 021-3840059
Tetap Terhubung Bersama IAEI di Media Sosial Facebook , TwitterInstagram dan Youtube Channel dengan tagar #EkonomiIslam

Peranan Negara Dalam Perekonomian (Perspektif Islam) -Part 1-

Updated: Selasa 1 Juli 2014 - 15:20 Kategori: Ekonomi Syariah Posted by: Ricky Dwi Apriyono

Belakangan ini, telaah tentang peranan negara dalam kehidupan ekonomi keuangan semakin banyak mendapat perhatian, terutama setelah munculnya krisis demi krisis baik di Amerika Serikat, Eropa maupun wilayah dunia lainnya. Dalam analisis terapi penyembuhan krisis tersebut, teori Keynes banyak diangkat ke permukaan. Majalah Newsweek pernah memasang besar-besar tulisan We are all Keynesians dalam sampul depannya. Sejumlah pakar ekonomi (konvensional) Indonesia juga ikut-ikutan meneriakkan kembali pentingnya revitalisasi mazhab Keynesians. Mereka mengklaim, bahwa semua negara saat ini kembali melirik Keynes setelah sebelumnya berbondong-bondong  mencampakkan Keynes untuk berselingkuh dengan kapitalisme neoliberal sejak tahun 1970-an. Padahal seribu tahun sebelum Keynes, ratusan ulama dan pakar ekonomi Islam sudah merumuskan pentingnya peran negara dalam perekonomian. Tapi sayangnya para pakar ekonomi Indonesia tidak punya akses keilmuan terhadap ilmu ekonomi Islam.

Menurut ilmu ekonomi Islam, negara mempunyai peran penting dalam perekonomian. Para ulama dan pakar ekonomi Islam sepanjang sejarah telah membahas peran penting negara dalam perekonomian, Menurut  para ulama,  dalam ekonomi Islam, negara memiliki kekuasaan yang paling luas untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, dengan syarat bahwa tugas itu dilaksanakan dengan cara demokratis dan adil, dimana segala keputusan diambil sesudah bermusyawarah secukupnya dengan wakil-wakil rakyat yang sebenarnya. Meskipun Islam memberikan peran kepada negara secara luas, hal itu tidak berarti bahwa konsep ekonomi Islam mengabaikan kemerdekaan individu.

Alquran sebagai sumber pertama ajaran Islam, menjelaskan tentang peranan negara dalam mekanisme pasar dan dalam perekonomian secara umum.

Dalam konteks ini Al-Mubarak dalam buku Nizaham al-Islam al-Iqtishadi, mengutip ayat Alquran surah Al-Hadid ayat 25 :

Sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-Rasul kami dengan membawa bukti–bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka menggunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agamanya) dan Rasul Rasul-Nya, padahal Allah tidak dilihatnya, Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Mengomentari ayat tersebut, Muhammad Al-Mubarak mengatakan, bahwa penyebutan keadilan dan besi secara bersamaan dalam ayat ini menunjukkan pentingnya penegakan keadilan dengan kekuatan (kekuasaan), yang dalam ayat tersebut disebutkan enggan besi. Dengan demikian, negara hendaknya menggunakan kekuatan, jika dibutuhkan, untuk mewujudkan keadilan dan mencegah kezaliman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis.

Dr.Abdul Sattar dalam kitab Al-Muamalah fil Islam, merumuskan kandungan ayat di atas sbb :

Pertama, bahwa tujuan utama risalah ilahiyah (dalam kitab & syari’ah) adalah menegakkan aturan (nizham) yang adil dalam muamalah di antara manusia

Kedua, Menegakkan aturan syariah yang adil mesti dengan peranan negara (kekuasaan/kekuatan (besi), setelah dakwah dan tabligh/komunikasi dilaksanakan (hlm.17)

Para penguasa pada periode Islam yang pertama sangat menyadari tanggung jawab mereka selaku Kepala Negara terhadap perekonomian, terutama terhadap  pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warga negara. Keempat khalifah pertama yang berkuasa, memerintah negara Islam setelah wafatnya Nabi SAW, telah menganggap pemenuhan kebutuhan dasar, sebagai salah satu tujuan dasar dari kebajikan negara.

Dalam periode Abu Bakar (Khalifah pertama), ada segolongan penduduk yang enggan membayar zakat. Penolakan membayar zakat dianggap sebagai penentangan terhadap negara, sehingga tindakan bersenjata dilakukan untuk memaksa mereka membayar zakat.

Khalifah kedua, Umar, juga sangat menyadari tanggung jawab ini, sehingga ia mengumumkan, “jika seekor unta mati tanpa perawatan di tepi Sungai Eufrat, saya takut Allah akan meminta pertanggung jawaban saya terhadap hal itu di akhirat. Pernyataan ini mengandung makna yang dalam, betapa seorang penguasa memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap rakyatnya. Jangankan manusia yang tidak bisa makan karena busung lapar, misalnya, seekor hewan saja yang mati karena kelalaian penguasa, menjadi tanggung jawab penguasa.

Catatan sejarah juga menunjukkan bahwa ada beberapa contoh pada periode ini, dimana pada daerah-daerah Daulah Islamiyah, tidak ditemukan seorangpun warga negara yang fakir miskin, karena mendapat perhatian serius dari negara.

Para ahli fikih Islam telah menulis secara mendalam mengenai prinsip pemenuhan kebutuhan. Mereka semua setuju bahwa secara umum, pemenuhan kebutuhan dasar merupakan kewajiban negara dan masyarakat, sehingga tak seorangpun dijumpai yang tak bisa memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Para  ahli fikih Islam berpandangan bahwa perlindungan hukum harus diberikan sesuai dengan prinsip pemenuhan kebutuan, sehingga setiap warga negara bisa melapor ke pengadilan, agar mendapatkan jaminan pelaksanaan atas prinsip tersebut.

Peranan Negara

Dalam politik ekonomi Islam, negara bertugas dan bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dalam ekonomi, mencegah terjadinya setiap kezhaliman serta menindak para pelanggar hukum di bidang ekonomi. Usaha mewujudkan itu, dapat dilakukan dengan kekuatan aparat pemerintah (tangan besi), apabila kondisi membutuhkannya sebagaimana yang dijabarkan di atas berdasarkan ayat Alquran Al-Hadid ayat 25.

Dalam pembahasannya, mengenai peran negara dalam ekonomi, Muhammad Al Mubarak, dalam buku Nizam al-Islam, menyatakan bahwa negara merupakan salah satu dari tiga sokoguru sistem ekonomi Islam bersama-sama dengan iman (moral) dan prinsip-prinsip organisasi ekonomi.

Fungsi negara adalah untuk menegakkan keadilan ekonomi, pasar dan menjamin terpenuhinya kebutuhan dengan mengatur fasilitas–fasilitas umum dan sistem jaminan sosial.

Aswaf Ali, dalam disertasi doktornya, Political Economy of the Islamic State,menyimpulkan bahwa filsafat kemasyarakatan Islam menggambarkan suatu masyarakat ekonomi yang didasarkan pada peranan negara yang luas di dalam bidang perekonomian, perdagangan dan keuangan.

Sementara itu, Dr. Fazlur Rahman mengatakan bahwa dalam kepentingan dasar dari keadilan sosial ekonomi, negara harus mencampuri pribadi warga negara, sejauh keadilan sosial ekonomi menuntutnya.

Prof. Dr. M. Umer Chapra, juga berpandangan bahwa peranan ekonomi yang aktif oleh negara merupakan segi yang tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi Islam. Selanjutnya Chapra menyatakan bahwa penyediaan modal untuk kepentingan sosial serta penataan jaminan sosial merupakan kewajiban penting negara. Negara juga bertanggung jawab untuk menciptakan kemantapan (stabilitas) nilai mata uang, selain usaha penghapusan kemiskinan dan penciptaan kondisi yang sehat untuk pemberian kesempatan kerja yang penuh (full employment) serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dal hal 46 Chapra

Selanjutnya ia menekankan bahwa tata cara untuk mencapai semua itu ialah lewat pendidikan, bukan paksaan. Menurut Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi, tak seorangpun membantah bahwa selama bisa diatasi dengan pendidikan, maka paksaan hendaklah dihindarkan. Tapi kita tak boleh ragu-ragu, bahwa tujuan Islam harus dapat dicapai. Karena itu, paksaan dibolehkan, bila usaha lewat pendidikan mengalami kegagalan.

Di antara tindakan paksaan yang dibolehkan, guna melindungi masyarakat umum adalah pembatasan-pembatasan kebebasan pribadi dalam bertindak, seperti pengaturan kegiatan bisnis, penentuan harga barang-barang tertentu, perpajakan, pajak progressif, nasionalisasi, pembatasan pemilikan, penetapan denda-denda keuangan. Demikian pula isi Undang-undang yang berkaitan dengan monopoli, hak-hak konsumen, hak cipta, dsb.

Untuk pelaksanaan tujuan ini, menjadi kewajiban negara untuk menyediakan sumber-sumber daya, khususnya sumber-sumber yang langka, atau intervensi pasar ketika kekuatan pasar berjalan tak terkendali.

Sementara itu menurut Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ashshiddiqi, peranan negara mencakup empat macam.

1. Menjamin tegaknya etika ekonomi dan bisnis Islam dari setiap individu melalui pendidikan, dan bila perlu melalui paksaan.

2. Menciptakan iklim yang sehat dalam mekanisme pasar.

3. Mengambil langkah-langkah positif di bidang produksi dan pembentukan modal, guna mempercepat pertumbuhan dan menjamin keadilan sosial.

4. Perbaikan penyediaan sumber-sumber daya dan distribusi pendapatan yang adil, baik dengan bimbingan, pengaturan, maupun campur tangan langsung dalam proses penyediaan sumber daya itu dan distribusi pendapatan.

 Jaminan Sosial

Jaminan sosial menjadi rukun ekonomi Islam. Tanggung jawab langsung negara tentang jaminan sosial, didasarkan atas hak umum seluruh rakyat terhadap sumber-sumber alam. Oleh karena adanya warga negara yang tak mampu bekerja , atau cacat atau tua renta, mereka juga mempunyai hak yang sama terhadap sumber-sumber alam tersebut. Sistem jaminan sosial ini diatur di zaman Nabi SAW dan berfungsi secara efektif pada periode Islam pertama dan pda periode sesudahnya.

Para ulama fiqh  secara rinci   membahas kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi seluruh warga negara. Alqur’an dan Sunnah telah berulang kali menekankan pemberian makanan kepada mereka yang sedang kelaparan. Demikian pula pemenuhan kebutuhan gizi bagi setiap orang, harus diperhatikan untuk meringankan penderitaan kaum miskin. Kebutuhan dasar lainnya yang menempati prioritas tinggi adalah pakaian dan perumahan.

Selain makanan, pakaian dan perumahan yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup, masih terdapat kebutuhan lain yang harus diperhatikan negara, seperti kebutuhan memelihara agama (ad-din), akal, dan keturunan. Kebutuhan memelihara akal diwujudkan melalui pembangunan pendidikan dan sarana pendidikan, Kebutuhan memelihara jiwa diwujudkan dengan pendirian rumah sakit dan pelayanan kesehatan yang memadai bagi rakyat, termasuk alokasi dana untuk keamanan, kepolisian, militer dan aparat terkait. Kebutuhan keturunan diwujudkan dengan dorongan nikah dan larangan zina.

Untuk mewujudkan berbagai kebutuhan dasar manusia, negara membuat regulasi di bidang pidana, perdata, keuangan dan sebagainya dalam bentuk perundang-undangan dan peraturan. Menurut Baqir al-Sadr, selain melaksanakan perundangan yang relevan, negara berkewajiban memberikan jaminan sosial, menjamin pemenuhan kebutuhan bagi setiap warga negara.

Baqir Al-Sadr menunjukkan bahwa pembentukan perbendaharan negara merupakan sarana untuk menunaikan tanggung jawab ini. Berkaitan dengan distribusi pendapatan ia menekankan bahwa hal itu tidak berkaitan dengan keharusan kesamaan pendapatan, tapi standar hidup tertentu, yakni teratasinya kemiskinan absolute. Kemiskinan absolute inilah yang bisa diberantas. Sedangkan kemiskinan relatif tak mungkin diwujudkan, sekalipun dalam ekonomi sosialisme. Jadi menurutnya, dalam Islam dimungkinkan ada perbedaan-perbedaan yang tidak menyolok antara satu individu dengan individu lain

Menurut Imam Nawawi, adalah kewajiban negara untuk memberi makan mereka yang lapar dan memberi pakaian kepada mereka yang tidak punya cukup pakaian. Ibnu Khaldun juga menegaskan biaya yang harus ditanggung negara untuk menjamin kehidupan masyarakat miskin, penuhilah kebutuhan orang miskin, anak yatim dan para janda. Berilah upah kepada orang buta, orang yang mengajarkan Al-Quran atau yang menghafalnya. Dan selama tidak memberatkan kas negara didirikan rumah sakit di tengah masyarakat muslim disertai dengan orang-orang yang sabar merawatnya dan dokter-dokter yang mengobatinya.

Selain tanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok, negara punya fungsi penting untuk membuat perundang-undangan baru yang mengatur dan memberikan bimbingan dalam kehidupan ekonomi.

Arus Produksi dan Distribusi

Sistem ekonomi Islam berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang menganut faham lassez faire. Dalam Islam, pemerintah harus mengatur arus produksi dan distribusi, khusunya mencegah terjadinya kecendrungan dan praktek monopolistik.

Ada beberapa prioritas langkah yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan distributif tersebut.

1. Sistem zakat dan kharaj sangat efektif untuk mengalihkan surplus kekayaan dari orang kaya kepada orang-orang miskin.

2. Negara harus mengamati dan mengatur pemerataan distribusi sumber daya alam. Ekonomi Islam tidak membenarkan terjadinya penumpukan asset sumber daya alam pada sekelompok orang tertentu saja. Penguasaan sumber daya alam yang dikuasai swasta harus dibatasi, misalnya, lima ribu hektar sawit.

3. Jasa layanan masyarakat yang menghasilkan keuntungan, seperti kereta api, pos dan telegraf, listrik, air dan gas, harus dikelola negara.

4. Jasa layanan masyarakat yang tidak menghasilkan , seperti jalan raya, tempat umum, tempat parkir dan sebagainya, perlu disubsidi pemerintah dengan menggalakkan sumbangan para donatur. 

Tulisan: Agustianto M.Ag


comments powered by Disqus