Tak bisa dibantah, bahwa inovasi produk menjadi kunci perbankan syariah untuk lebih kompetitif dan lebih berkembang dengan cepat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Inovasi produk harus menjadi strategi prioritas bagi bank-bank syariah, karena inovasi memiliki peran penting dalam merambah dan menguasai pasar yang selalu berubah. Untuk itulah industri perbankan syariah dituntut terus-menerus melakukan inovasi-inovasi baru secara kreatif. Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif dan memberkan kemudahan transaksi, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Studi inovasi produk perbankan syariah dalam tulisan ini, dilakukan dengan pendekatan fikih muamalah, artinya semua produk inovatif yang ditawarkan berasal dari khazanah akad-akad fikih muamalah yang sangat demikian luas, dengan menggunakan ilmu ushul fiqh, maqashid syariah, qawa’id fiqh, dan tarikh tasyri’.
Berikut akan dipaparkan sebagian skim dan model inovasi produk bank-bank syariah, baik produk financing, funding, jasa-jasa, maupun treasury products. Di antara produk yang bisa dikembangkan di bank syariah adalah pembiayaan multi guna, KTA (Kredit Tanpa Agunan), murabahah commodity untuk treasury product, Pembiayaan perkebunan sawit dengan metode Margin During Contruction, bay’ wafa’ dan bay’ istighlal untuk usaha mikro, hedging dengan forward dan swap, tawarruq emas berlandaskan istihsan dan maslahah, dsb.
Pembiayaan multiguna
Pembiayaan multi guna dapat menggunakan skim tawarruq emas atau bay wafa wal ijarah yang disebut dengan bay’ istighlal (lihat Qanun Al-Majallah al-Ahkam al-‘adliyah). Skim tawarruq emas ini diambil dari banyak buku fiqh, terutama buku, Tawarruq Mashrafi ‘an Thoriq bay’ al-ma’adin (Tawarruq di perbankan melalui jual beli emas). Mayoritas ulama menyetujui bay’ tawarruq, Namun Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim memakruhkanya. Fatwa ulama OKI hanya mengharamkan tawarruq munazzam yang banyak dilakukan sebagian bank syariah Malaysia. Tawarruq munazzam tidak lain adalah bay al-‘inah itu sendiri, maka hukumnya dilarang.
Kalau kita mengambil pendapat mayoritas ulama, maka penerapan tawarruq , no problem, Namun jika kita mengambil pendapat Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim, kemakruhannya dapat dihilangkan dengan metode istihsan, maslahah dan maqashid. Jika kita menggunakan metode istihsan, maka harus bisa ditunjukkan bahwa tawarruq yang hendak ditertapkan di perbankan, harus berbeda karakternya dengan tawarruq yang dimakruhkan, sebagian ulama. Pada tawarruq perbankan itu, harus ada syarat ketat dari bank syariah, yakni bahwa dana tawarruq harus digunakan untuk sector riil ( yang produktif) dan officer perbankan harus mencek kebenaran terwujudnya sector riil di lapangan.
Jadi, untuk mewujudkan itu officer bank syariah dalam visibility study dan analisa pembiayaan harus mensyaratkan bahwa penggunaan uang tawarruq memang untuk sector riel, seperti usaha mikro, pertanian dan kegiatanusaha produktif lainnya, atau semi produktif seperti pendidikan, renovasi rumah, dan sebagainya. Multi guna artinya penggunaan uang tersebut dapat digunakan untuk apa saja, asalkan untuk sector riil yang sesuai syariah.
KTA Syariah
Skim tawarruq emas juga dapat digunakan untuk pembiyaan KTA syariah. Produk KTA syariah harus diluncurkan dan dikembangkan, mengingat saat ini bank-bank asing konvensional sangat gencar menawarkan produk KTA konvensional. Potensi pasar KTA syariah mencapai 2000 triliun rupiah. Jangan biarkan bank-bank asing menguasai pasar kita. Kalau bank syariah tidak masuk di pasar tersebut, maka dominasi bank-bank asing konvensional, makin merajalela masuk ke UKM rakyat Indonesia, padahal cukup banyak skim akad yang bisa digunakan untuk KTA Syariah tersebut, antara lain dengan tawarruq (emas), atau bay wafa’ dan istighlal.
Bay’ wafa’ dan istighlal dapat pula digunakan untuk pembiayaan multi guna. Mekanismenya, Pertama, nasabah menjual assetnya (rumah, perkebunan, atau mobil), ke bank syariah dengan harga misalkan Rp 200 juta, dengan janji nasabah akan membeli (melunasi) kembali rumah tersebut 2 tahun depan dengan harga yang sama, yakni Rp 200.juta. Dengan jual beli ini, nasabah mendapatkan uang cash dari bank dan dengan demikian rumah menjadi milik bank. Kedua, selanjutnya, bank menyewakan rumah itu kepada nasabah itu kembali dengan margin tertentu.
Bank mendapatkan keuntungan (margin) dengan cara penyewaan tersebut. Besaran biaya sewa bulanan dapat memilih dua alternatif, Pertama, biaya sewa bulanan dan margin disesuaikan dengan besaran cicilan normal pembiayaan, misalnya Rp 10 juta per bulan.Ketika masa ijarah selesai, maka rumah itu kembali dijual bank kepada nasabah dengan harga tertentu. Pilihan kedua, dalam perjanjian itu di syaratkan nasabah untuk menyimpan sejumlah dana setiap bulan misalkan Rp 9,2 juta dan ketika jumlah simpanan mencapai Rp 200 juta, maka janji nasabah untuk membeli kembali rumah tersebut diwujudkan. Syarat tersebut tidak dilarang dalam syariah, karena itu ia dibolehkan.
Margin During Contruction (MDC)
Tawarruq emas yang berlandaskan istihsan dan maslalah dapat pula digunakan untuk pembiyaan perkebunan sawit dimana produksinya (hasil buahnya) baru akan terjadi 4 tahun mendatang. Misalkan pengusaha perkebunan sawit mengajukan pembiyaan Rp 10 milyard, namun sawit baru berbuah 4 tahun kemudian, Setelah dana dikucurkan kepada nasabah, Sejak bulan pertama nasabah diharuskan membayar margin dari pembiayaan tersebut, padahal sawit baru berbuah 4 tahun mendatang. Sekali lagi harus dicatat, skim akad tawarruq emas yang digunakan dalam pembiayaan ini, bukanlah tawarruq biasa dalam fikih klasik, Tawarruq mashrafiy ini bukanlah tanpa control, tanpa visibility study, dan tanpa underlying asset. Bahkan underlying assetnya berganda. Pertama, emas sebagai media jual beli, kedua, usaha produkitif riil perkebunan sawit.
Orang mungkin bisa mengkritik tawarruq emas yang pengunaan uangnya tidak jelas. Namun jika penggunaan uang itu jelas untuk usaha sector riil seperti perkebunan sawit, maka tawarruq itu akan mendorong kegiatan produksi dan mempunyai multiplier effect bagi masyarakat desa, menyediakan lapangan kerja, dsb. Di sinilah dalil syariah istihsan berperan dan diterapkan, dimana tawarruq emas ini memiliki kekhususan yang berbeda dengan tawarruq yang dimakruhkan, Tawarruq emas ini memiliki purpose financing yang jelas untuk sektor riil dan memiliki multiplier effect untuk menghidupkan ekonomi masyarakat. Dalam konteks ini pembiayaan sawit dengan model tawarruq ini mengandung kemaslahatan yang jelas. Dengan demikian penerapan tawarruq emas untuk pembiayaan sawit dengan system margin during contruction( MDC), memiliki dalil yang kuat secara syariah (ushul fiqh), yaitu istihsan dan maslahah. Maslahah adalah inti dari konsep maqashid syariah. (Bersambung).