REPUBLIKA JAKARTA – Bank syariah dinilai harus lebih banyak mengembangkan produk pembiayaan untuk usaha mikroproduktif. Akan tetapi, produk tersebut masih harus menyesuaikan dengan kondisi umat.
Belum semua usaha mikro sudah memenuhi syarat pembiayaan bank, seperti memiliki laporan keuangan dan agunan (bankable). Kondisi inilah yang perlu diperhatikan bank syariah dalam penyaluran pembiayaan ke usaha mikro. Selain itu, margin pembiayaan yang sesuai dengan kondisi usaha mikro harus menjadi salah satu poin pertimbangan bank syariah.
Pengamat ekonomi syariah Agustianto melihat, sejumlah bank syariah sudah memperbesar portofolio pembiayaan ke usaha mikro. Akan tetapi, belum semua bank syariah berani berbisnis ke sektor tersebut. “Pembiayaan bank syariah itu sejatinya harus ke mikro agar bermanfaat untuk kemaslahatan umat,” ujar Agustianto, Rabu (11/1).
Berbisnis di usaha mikro, kata dia, memiliki potensi yang sangat besar. Dia menghitung sedikitnya ada potensi pembiayaan Rp 2.000 triliun di usaha mikro yang bisa digarap bank syariah. Potensi mikro ini pun telah menarik bank asing yang menawarkan produk pembiayaan menarik, seperti kredit tanpa agunan (KTA).
Ia menambahkan, pembiayaan ke sektor mikro bagi bank syariah dinilai tak sulit. Bank syariah dapat menyalurkan pembiayaannya melalui lembaga keuangan mikro, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, ataupun baitulmal wa tamwil (BMT). Kerja sama ini dinilai akan lebih menumbuhkan sektor pembiayaan mikro lembaga keuangan syariah.
Margin pembiayaan mikro selanjutnya perlu menjadi perhatian bank syariah. “Pembiayaan perlu perhatikan realita umat, perhatikan kemampuan pengusaha kecil itu,” ujarnya. Agustianto yang juga menjadi ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) itu berpendapat, dengan margin dua sampai 2,5 persen per bulan, BPRS atau BMT masih tetap dapat masuk ke sektor mikro.
Pengembangan produk pembiayaan mikro dapat juga dilakukan dengan produk gadai emas. Akan tetapi, bisnis gadai emas harus dipastikan tidak dipakai untuk spekulasi. Caranya, bank syariah harus membatasi pengulangan gadai dan mengetahui tujuan gadai emas oleh nasabah.
Gadai emas di bank syariah dapat membiayai kebutuhan konsumtif masyarakat. Namun, pembiayaan gadai akan lebih bermanfaat bagi umat jika dipergunakan untuk pengembangan usaha produktif. Ketika pembiayaan itu diperuntukkan guna usaha produktif, model gadai emas dapat mengarah ke bentuknya yang ideal.
Model gadai emas yang ideal, menurut Agustianto, dapat dilakukan dengan menjadikan emas sebagai instrumen tabungan dan hedging (lindung nilai). Dengan adanya tabungan dan pendapatan dari pembiayaan usaha produktif, gadai emas akan menghindarkan spekulasi sekaligus bermanfaat bagi umat.
Arah bisnis bank syariah ke sektor mikro sebelumnya juga menjadi anjuran Bank Indonesia (BI). Berdasarkan catatan BI, kegiatan usaha perbankan syariah selama ini masih difokuskan pada pembiayaan segmen jasa dan konsumsi yang porsinya mencapai 72 persen. BI menargetkan, porsi tersebut dapat diturunkan pada tahun ini.
Ditargetkan, porsi pembiayaan ke sektor ekonomi produktif bisa mencapai 70 persen. Sementara, pembiayaan ke sektor konsumen dan jasa ditekan hingga 30 persen. “Kita akan dorong intermediasi ke sektor ekonomi produktif ini,” kata Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah baru-baru ini.
Salah satu produk yang akan didorong BI untuk pembiayaan produktif dari bank syariah adalah pembiayaan kredit tanpa agunan (KTA). Menurut Direktur Direktorat Perbankan Syariah BI Mulya Effendi Siregar, pembiayaan tanpa agunan di bank syariah berbeda dengan KTA di bank konvensional. Jika KTA bank konvensional diberikan untuk pembiayaan konsumen, maka bank syariah akan diarahkan ke usaha mikro produktif.
Plafon pembiayaan tanpa agunan di bank syariah akan dibatasi. Akad pembiayaan itu dapat memakai murabahah atau mudharabah. “Kalau untuk modal kerja bisa pakai mudharabah, kalau untuk kebutuhan barang bisa pakai murabahah,” terang Mulya.
Untuk mendukung produk di bank syariah, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) akan membahas sejumlah fatwa baru, yakni profit equalization reserve (PER) dan hedging (lindung nilai). Pembahasan itu akan diintensifkan tahun ini dengan BI dan IAEI.
Menurut Ketua DSN-MUI Ma’ruf Amin, PER dan hedging telah masuk agenda DSN tahun ini lantaran melihat kebutuhan pengembangan produk di bank syariah. PER dinilai penting untuk membuat imbal hasil di bank syariah tetap menarik bagi nasabah. ed: irwan kelana