Situs Resmi DPP IAEI - Contact Center 021-3840059
Tetap Terhubung Bersama IAEI di Media Sosial Facebook , TwitterInstagram dan Youtube Channel dengan tagar #EkonomiIslam

Memahami Ekonomi Syariah (Part III)

Updated: Friday 19 September 2014 - 22:55 Kategori: Ekonomi Syariah Posted by: Ricky Dwi Apriyono

Kedua, persoalan zakat yang belum masif seperti masifnya gerakan industri keuangan syariah. Ini diakibatkan sedikitnya perolehan zakat di tanah air. Dari potensi 217 triliun hitungan BAZNAS (2012), maka hanya 2,3 triliun yang berhasil dihimpun BAZNAS dan semua BAZ/LAZ se-Indonesia tahun 2012.   Hal ini  menunjukkan bahwa perolehazakat  belum  populer di  tengah-tengah  masyarakat. Padahal,  di pakistan, negara sudah mewajibkan setiap 1 ramadhan semua tabungan di seluruh bank yang melebihi nisab zakat, dipotong 2,5% mau tidak mau, suka tidak suka.  Ini menunjukkan peran pemerintah dan pembuat undang-undang sangat besar. Jika keberpihakan pembuat undang-undang (legislatif) sangat tinggi, maka niscaya perolehan zakat akan sangat besar. Nah, disinilah urgensi zakat.   Jika dana zakat besar,   maka   penguranga kemiskinan   aka masif. Lembaga   zaka akan menggerakkan ekonomi informal yang non-bankable.  Lembaga zakat akan menggerakkan ekonomi di level grass-root.  Biarkan bank syariah mengambil pasar mereka yang bankable, dan biarkan lembaga zakat menggarap mereka yang non- bankableJika keduanya berjalan dengan baik, niscaya ekonomi akan lebih baik.

Ketiga, persoalan sektor riil, terutama ekonomi sumberdaya alam, yang masih luput dari pegiat ekonomi syariahSebenarnya persoalan sektor riil ini tidak dapat dipisahkan dari lembaga keuangan bebas riba dan sistem zakat. Ketiga pilar ini merupakan pilar ekonomi Islam yang tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 275-277.

Sistem riba, akan memicu eksploitasi sumberdaya alam yang besar.  Untuk menutup biaya bunga bank dan  mengejar keuntungan  yang ditargetkan, maka  pabrik akan memproduksi output yang lebih besar daripada sistem non-bunga.  Untuk memproduksi output yang lebih banyak, diperlukan sumberdaya bahan baku yang lebih banyak. Jika bahan bakunya adalah hasil hutan, maka akan terjadi eksploitasi hutan.

Sistem zakat jika dikenakan kepada sumberdaya alam, yang besarnya 20% (rikaz) seperti zakat barang pertambangan, seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, nikel, dan lain-lain, maka zakat yang diperoleh niscaya dapat menutupi belanja negara di sektor-sektor riil seperti pendidikan, infrastruktur, dan lain-lain. Agar pemerintah dapa memungut   zakatnya maka sumberday alam   tersebut   harus   dikelola pemerintah, bukan oleh asing. Menurut Abraham Samad ketua KPK, tidak kurang dari 7200 triliun rupiah setiap tahunnya dapat diperoleh negara dari sektor pertambangan seperti minyak, gas, batubara, tembaga, emas, perak, nikel dan lain lain.

Artinya, untuk menunjang sektor riil, sangat mutlak adanya lembaga keuangan bebas riba, dan sistem zakat yang baik.   Tampaknya, sudah ada beberapa pegiat syariah yang berpikir kearah itu, tetapi karena tema-tema yang diangkat dalam seminar- seminar ekonomi syariah selama ini masih bertema keuangan syariah, maka ide-ide penguatan sektor riil belum terlalu banyak digali.  Namun, Alhamdulillah, beberapa bulan  terakhir,  seminar-seminaekonomi  islam  sudah  banyak  mengangkat  tema sektor riil seperti pertanian, misalnya talkshow ekonomi islam di STAIN Palopo 14

Februari  2014  yanmengangkat  tema   Menggagas  Sektor  Agribisnis  syariah, menuju masyarakat sejahtera, dan di Universitas Negeri Malang 27  Maret 2014 dengan tema Agaria untuk kemandirian ekonomi Indonesia”.

Lanjut ke Part IV



comments powered by Disqus