Kedua, persoalan zakat yang belum masif seperti masifnya gerakan industri keuangan syariah. Ini diakibatkan sedikitnya perolehan zakat di tanah air. Dari potensi 217 triliun hitungan BAZNAS (2012), maka hanya 2,3 triliun yang berhasil dihimpun BAZNAS dan semua BAZ/LAZ se-Indonesia tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa perolehan zakat belum populer di tengah-tengah masyarakat. Padahal, di pakistan, negara sudah mewajibkan setiap 1 ramadhan semua tabungan di seluruh bank yang melebihi nisab zakat, dipotong 2,5% mau tidak mau, suka tidak suka. Ini menunjukkan peran pemerintah dan pembuat undang-undang sangat besar. Jika keberpihakan pembuat undang-undang (legislatif) sangat tinggi, maka niscaya perolehan zakat akan sangat besar. Nah, disinilah urgensi zakat. Jika dana zakat besar, maka pengurangan kemiskinan akan masif. Lembaga zakat akan menggerakkan ekonomi informal yang non-bankable. Lembaga zakat akan menggerakkan ekonomi di level grass-root. Biarkan bank syariah mengambil pasar mereka yang bankable, dan biarkan lembaga zakat menggarap mereka yang non- bankable. Jika keduanya berjalan dengan baik, niscaya ekonomi akan lebih baik.
Ketiga, persoalan sektor riil, terutama ekonomi sumberdaya alam, yang masih luput dari pegiat ekonomi syariah. Sebenarnya persoalan sektor riil ini tidak dapat dipisahkan dari lembaga keuangan bebas riba dan sistem zakat. Ketiga pilar ini merupakan pilar ekonomi Islam yang tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 275-277.
Sistem riba, akan memicu eksploitasi sumberdaya alam yang besar. Untuk menutup biaya bunga bank dan mengejar keuntungan yang ditargetkan, maka pabrik akan memproduksi output yang lebih besar daripada sistem non-bunga. Untuk memproduksi output yang lebih banyak, diperlukan sumberdaya bahan baku yang lebih banyak. Jika bahan bakunya adalah hasil hutan, maka akan terjadi eksploitasi hutan.
Sistem zakat jika dikenakan kepada sumberdaya alam, yang besarnya 20% (rikaz) seperti zakat barang pertambangan, seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, nikel, dan lain-lain, maka zakat yang diperoleh niscaya dapat menutupi belanja negara di sektor-sektor riil seperti pendidikan, infrastruktur, dan lain-lain. Agar pemerintah dapat memungut zakatnya, maka sumberdaya alam tersebut harus dikelola pemerintah, bukan oleh asing. Menurut Abraham Samad ketua KPK, tidak kurang dari 7200 triliun rupiah setiap tahunnya dapat diperoleh negara dari sektor pertambangan seperti minyak, gas, batubara, tembaga, emas, perak, nikel dan lain lain.
Artinya, untuk menunjang sektor riil, sangat mutlak adanya lembaga keuangan bebas riba, dan sistem zakat yang baik. Tampaknya, sudah ada beberapa pegiat syariah yang berpikir kearah itu, tetapi karena tema-tema yang diangkat dalam seminar- seminar ekonomi syariah selama ini masih bertema keuangan syariah, maka ide-ide penguatan sektor riil belum terlalu banyak digali. Namun, Alhamdulillah, beberapa bulan terakhir, seminar-seminar ekonomi islam sudah banyak mengangkat tema sektor riil seperti pertanian, misalnya talkshow ekonomi islam di STAIN Palopo 14
Februari 2014 yang mengangkat tema “ Menggagas Sektor Agribisnis syariah, menuju masyarakat sejahtera”, dan di Universitas Negeri Malang 27 Maret 2014 dengan tema “Agaria untuk kemandirian ekonomi Indonesia”.
Lanjut ke Part IV