Situs Resmi DPP IAEI - Contact Center 021-3840059
Tetap Terhubung Bersama IAEI di Media Sosial Facebook , TwitterInstagram dan Youtube Channel dengan tagar #EkonomiIslam

'Greenflation' Ancam Penanganan Perubahan Iklim?

Updated: Kamis 3 Februari 2022 - 9:24 Kategori: Info Pilihan Posted by: Admin IAEI

Greenflation menjadi paradoks besar di tengah usaha dunia membangun ekonomi yang lebih hijau. Semakin cepat transisi menuju ekonomi hijau, semakin tinggi biaya yang dibutuhkan, dan semakin kecil peluang pencapaian target penanganan perubahan iklim.

Percepatan transisi menuju emisi karbon rendah (net-zero emission) diperlukan untuk menjaga pemanasan global pada tingkat yang secara teoritis aman. Masih belum banyaknya pasokan alternatif hijau (logam, energi, dll) membuat harga transisi hijau menjadi jauh lebih mahal. Kebijakan pemerintah dan langkah bisnis yang ditujukan untuk dekarbonisasi juga meningkatkan biaya yang lebih tinggi untuk konsumen. Tentu kondisi ini tidak ideal di tengah usaha pemulihan ekonomi dan terhambatnya supply-chain akibat pandemi Covid-19.

Faktor Terjadinya Greenflation 

Transisi ke ekonomi bersih memerlukan investasi besar agar energi hijau dapat diterapkan secara masal. Untuk membangun teknologi pendukung energi terbarukan diperlukan konsumsi bahan bakar fosil yang besar di masa transisi. Namun produsen tidak merespon demand tersebut dikarenakan resistensi politik dan peraturan yang mengancam masa depan bahan bakar fosil. Walhasil, harga transisi meningkat tajam.

Dua logam terpenting dalam instalasi tenaga listrik hijau adalah tembaga dan aluminium. Namun kegiatan tambangan dua logam ini juga menghadapi isu lingkungan, sosial, dan tata kelola. Hampir 40 persen pasokan tembaga berasal dari Chili dan Peru, di mana pertambangan mendapatkan penolakan dari masyarakat setempat karena isu perusakan lingkungan. Hampir 60 persen aluminium berasal dari China yang baru-baru ini menutup peleburan (smelting) baru karena jejak karbonnya yang besar.

Instalasi teknologi terbarukan membutuhkan lebih banyak kabel daripada jenis bahan bakar fosil. Pembangkit listrik tenaga surya atau angin menggunakan tembaga enam kali lebih banyak daripada pembangkit listrik konvensional. Tembaga memang salah satu logam yang berkelanjutan karena dapat 100% di daur ulang. Namun kegiatan pertambangan tembaga saat ini cenderung tidak ramah lingkungan. Meningkatkan kualitas pertambangan tembaga juga menjadi pemicu greenflation.

Selain tembaga, aluminium juga merupakan salah satu logam yang paling penting untuk proyek energi surya dan energi hijau lainnya, dan akan mengalami peningkatan permintaan yang sangat tajam dalam beberapa dekade mendatang. Dari aspek keberlanjutan, aluminium juga merupakan salah satu logam yang dapat didaur ulang 100%. Namun, saat ini aluminium menjadi salah satu logam yang paling kotor dalam proses produksinya. Meningkatkan kualitas pertambangan aluminium juga menjadi pemicu greenflation.

Menyikapi Greenflation 

Pada level tertentu peningkatan harga untuk kualitas pembangunan yang lebih baik adalah suatu hal yang wajar. Naiknya harga komoditas yang dibutuhkan untuk energi terbarukan akan meningkatkan biaya pendirian proyek pembangkit listrik ramah lingkungan. Tetapi ini akan diimbangi dengan akses dana yang lebih baik dan skala ekonomi. Jadi, kenaikan biaya dan masalah rantai pasokan proyek hijau diharapkan hanya merupakan isu temporer.

Namun demikian seluruh pihak juga perlu memperhatikan aspek keseimbangan dalam transisi kepada energi hijau. Perlu disadari bahwa langkah penutupan ekonomi lama terlalu cepat dapat mendorong biaya pembangunan ekonomi hijau di luar jangkauan. Pada akhirnya, target-target transisi ekonomi hijau sulit tercapai dan negara-negara berkembang menjadi yang paling terbebani.

“Harga logam yang tinggi, pajak karbon, dan percepatan keusangan modal pada investasi bahan bakar fosil adalah biaya yang harus dibayar di jalan menuju dekarbonisasi. Mengingat konsekuensi dari tidak melakukannya, biaya tersebut tidaklah seberapa. ‘Greenflation’ layak dibayarkan untuk dekarbonisasi.” Otaviano Canuto (Brookings Institution).


Referensi: