Krisis yang terjadi pada tahun 1998 telah memberikan pelajaran yang berharga bagi kita semua. Krisis tersebut berdampak pada sektor perbankan dimana debitur mengalami ketidakmampuan untuk mengembalikan dana pinjaman karena suku bunga melambung tinggi. Kondisi ini mengakibatkan goncangan pada sistem manajemen moneter perbankan konvensional.
Kemunculan ekonomi syariah bukanlah berasal dari sikap reaksioner terhadap fenomena ekonomi konvensional. Awal keberadaannya sama dengan awal keberadaan Islam di muka bumi ini, karena ekonomi syariah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam sebagai sistem hidup.
Dalam sistem ekonomi syariah kita mengenal prinsip jual beli (Murabahah, Salam, Istisna), bagi hasil (Mudharabah, Musyarakah), dan sewa (ijarah, IMBT). Dalam implementasinya pun juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah yang merupakan kepanjangan tangan dari Dewan Syariah Nasional selaku otoritas yang mengeluarkan fatwa yang menjadi dasar pijakan bagi lembaga keuangan syariah dalam menjalankan usahanya.
Dari sudut pandang emosional, mengamalkan ekonomi syariah berati mewujudkan seorang muslim yang kaffah karena syariah, akhlak, dan akidah merupakan tiga ajaran pokok dalam islam. mengamalkan sistem ekonomi syariah memberikan keuntungan bagi seseorang dalam bentuk kepatuhan hambanya terhadap perintah-perintah Allah Swt. Salah satu perintah Allah Swt adalah bermuamalah dengan meninggalkan konsep riba.
Surat Al-Quran. Surat Al- Baqarah ayat 275 menjelaskan :
“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba itu tidak dapat berdiri betul melainkan seperti berdirinya orang yang dirasuk Syaitan dengan terhoyong-hayang kerana sentuhan (Syaitan) itu. Yang demikian ialah disebabkan mereka mengatakan: "Bahawa sesungguhnya berjual beli itu sama sahaja seperti riba". Padahal Allah telah menghalalkan berjual beli (berniaga) dan mengharamkan riba. Oleh itu sesiapa yang telah sampai kepadanya peringatan (larangan) dari Tuhannya lalu ia berhenti (dari mengambil riba), maka apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum pengharaman itu) adalah menjadi haknya, dan perkaranya terserahlah kepada Allah. Dan sesiapa yang mengulangi lagi (perbuatan mengambil riba itu) maka mereka itulah ahli neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Dari ayat Al-Quran tersebut dapat diketahui bahwa Islam secara tegas mengharamkan riba. Menurut UU Perbankan syariah pasal 2, riba yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
Selain ditinjau dari aspek emosional, sistem ekonomi syariah juga memberikan keuntungan secara rasional. Keuntungan tersebut dapat dirasakan dengan cara bertransaksi melalui lembaga keuangan syariah seperti bank syariah, asuransi syariah, dll. Keuntungan tersebut antara lain:
1. Angsuran pembiayan yang tetap (Fixed)
Dalam operasional bank syariah, kita akan mengenal skema pembiayaan murabahah. Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual (bank) dan pembeli (nasabah). Hal ini biasanya tertuang dalam surat penawaran (Offering Letter) bank dimana dalam surat penawaran tersebut berisi obyek jual beli, porsi pembiayaan bank, jangka waktu, nominal keuntungan yang diperoleh bank, dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi nasabah. Atas dasar transaksi jual beli tersebut maka selama masa pembiayaan berjalan dan kemampuan bayar nasabah masih baik, bank (penjual) tidak diperkenankan untuk menambah atau mengurangi margin yang telah disepakati di awal. Sehingga angsuran yang dibayarkan oleh nasabah dari awal pembiayaan sampai dengan lunas besarannya tidak berubah
Ditengah perekonomian yang tidak stabil dan suku bunga Bank Indonesia yang berfluktuasi, skema murabahah ini sangat menguntungkan bagi nasabah individu maupun corporate. Bagi nasabah individu terdapat kepastian besarnya penghasilan yang harus disisihkan untuk membayar angsuran setiap bulan. Bagi nasabah corporate tentu akan lebih mudah dalam mengontrol keuangan operasionalnya dan menyusun budgeting perusahaan karena cash out flow yang dapat dihitung dengan pasti dikemudian hari.
2. Sistem bagi hasil yang lebih adil
Bank syariah juga mengenal skema pembiayaan berbasis bagi hasil atau biasa dikenal pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Pembiayaan mudharabah adalah Akad kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan seluruh kebutuhan modal dengan pihak pengelola usaha (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha bersama. Keuntungan dibagi menurut perbandingan (nisbah) yang disepakati. Pemilik modal tidak turut campur dalam pengelolaan usaha, tetapi mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. Perbedaan yang paling utama antara skema mudharabah dengan musyarakah adalah porsi modal yang diberikan oleh pemilik dana. Dalam pembiayaan mudharabah seluruh modal (100%) berasal dari pemilik dana, sedangkan pembiayaan musyarakah dana berasal kontribusi masing-masing pihak sesuai porsi yang disepakati (misal: 70% : 30%).
Dalam pembiayaan ini, bank akan membuat proyeksi bagi hasil (PBH) setiap bulan berdasarkan proyeksi omset usaha nasabah dan porsi bagi hasil yang disepakati. Selanjutnya setiap akhir bulan, nasabah akan menyampaikan deklarasi bagi hasil (rekap omset hasil usaha) yang didapat selama satu bulan. Atas dasar deklarasi tersebut bank akan menerima pembayaran bagi hasil yang didapat atas usaha nasabah.
Dalam skema bagi hasil ini, potensi memanipulasi omset untuk menurunkan porsi bagi hasil kepada bank sangat mungkin terjadi. Bank Indonesia melalui peraturannya PBI No 13/13/2011 & SE BI 13/10/DPbS/2011 mengatur dengan baik skema bagi hasil yang mengutamakan prinsip – prisnip syariah dan prinsip kehati-hatian.
Penentuan kualitas pembiayaan nasabah berbasis bagi hasil tanpa angsuran pokok
Kolektabiltas* |
Kualitas Aktiva |
1
|
RBH/PBH ³ 80%, dan Pembiayaan belum jatuh tempo |
2
|
RBH/PBH ³ 80%, dan Pembiayaan jatuh tempo £ 1 bulan |
3
|
30% < RBH/PBH < 80%, dan/atau 1 bulan <Tunggakan pelunasan Pembiayaan jatuh tempo £ 2 bulan |
4
|
RBH/PBH £ 30% selama 3 periode, dan/atau 2 bulan <Tunggakan pelunasan Pembiayaan jatuh tempo < 3 bulan |
5
|
RBH/PBH £ 30% selama lebih dari 3 periode atau Tunggakan pelunasan Pembiayaan jatuh tempo > 3 bulan |
RBH : Realisasi Bagi Hasil
PBH: Proyeksi Bagi Hasil
*Kolektibilitas yaitu gambaran kondisi pembayaran pokok dan bunga/bagi hasil pinjaman serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali pinjaman yang telah diberikan. Kolektibilitas digolongkan antara lain (kol 1) lancar, (kol 2) Dalam perhatian khusus, (kol 3) Kurang lancar, (Kol 4) Diragukan, (Kol 5) Macet. Kolektabilitas merupakan salah satu dasar penilaian bank untuk melihat kualitas calon nasabah saat mengajukan permohonan pembiayaan.
Ilustrasi
Bagi Hasil
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Akumulasi
|
% RBH / PBH
|
RBH
|
110 |
90 |
100 |
80 |
380 |
95%
(Kol 1) |
PBH
|
100 |
100 |
100 |
100 |
400 |
Dari contoh ilustrasi tersebut dapat dijelaskan bahwa walaupun pendapatan nasabah berfluktuasi, BI masih memberikan batas toleransi pembayaran bagi hasil kepada bank untuk dapat dikatakan ‘lancar’ selama akumulasi pembayaran bagi hasil ³ 80%. Bagi hasil yang diterima oleh bank merupakan gambaran riil dari kemajuan / kemunduran usaha yang dijalankan nasabah. Melalui peraturan BI tersebut nasabah akan dituntut untuk memiliki integritas dan profesionalisme yang tinggi dalam menjalankan usahanya.
3. Bebas biaya penalti jika dilakukan pelunasan sebelum Jatuh tempo
Bank syariah tidak membebankan biaya penalti dalam hal nasabah akan melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo. Bahkan bank memungkinkan untuk memberikan diskon kepada nasabah berupa potongan margin dari yang seharusnya dibayar penuh menjadi lebih kecil, walaupun potongan margin tersebut tidak diperjanjikan di awal.
4. Dapat melakukan negosiasi Nisbah Bagi Hasil
Deposito di bank syariah menggunakan sistem bagi hasil. Perbedaan yang paling signifikan dengan deposito bank konvensional adalah bunga yang didapatkan oleh nasabah ditetapkan di awal dan bersifat pasti. Sedangkan dalam bank syariah, dasar bagi hasil yang menjadi obyek bagi hasil adalah pendapatan bank (Revenue/ Profit sharing). Selanjutnya nasabah dan bank berbagi hasil sesuai nisbah bagi hasil yang disepakati di awal. Misalnya pendapatan bank dari deposito Rp 600.000, saldo rata-rata deposito bank Rp 80.000.000, deposito Anda Rp 25.000.000, nisbah bagi hasil Anda 65%, jangka waktu 1 bulan. Maka bagi hasil Anda adalah :
Indikasi rate = 600.000 x 365 x 100% = 9.125
80.000.000 30
Bagi Hasil Anda adalah = 25.000.000 x 30 hari x (0,65 x 9.125) = Rp 121.875*
365 x 100
*Sebelum dipotong pajak deposito sebesar 20%
Dari perhitungan bagi hasil tersebut, keuntungan dari deposito bank syariah adalah di awal pembukaan deposito nasabah dapat melakukan negosiasi terhadap nisbah bagi hasilnya. Sehingga, bila pendapatan bank semakin besar bagi hasil yang diterima nasabah juga akan semakin besar.
5. Bagi hasil diatas rate Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tetap dijamin oleh LPS
Ketentuan maksimum tingkat bunga penjaminan hanya diberlakukan untuk simpanan yang memiliki komponen bunga. LPS tidak menetapkan bagi hasil maksimum yang dijamin dalam bank syariah. Hal ini dikarenakan sifat bagi hasil yang tidak tetap. Bisa lebih tinggi dari rate LPS atau lebih rendah bergantung dari pendapatan bank dan porsi bagi hasil yang dimiliki nasabah. Sehingga apabila realisasi bagi hasil di bank syariah apabila disetarakan dengan tingkat bunga melebihi maksimum tingkat bunga penjaminan (yaitu 7,5% per- januari 2014), maka simpanan tersebut tetap dijamin LPS.
6. Asuransi Syariah tidak mengenal dana hangus
Dalam mekanismenya, Asuransi syariah yang implementasinya menggunakan prinsip bagi hasil ini tidak mengenal dana hangus. Bagi peserta yang tidak ingin meneruskan pembayaran premi dan akan mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut sesuai porsi bagi hasil yang diesepakati di awal perjanjian(akad), kecuali sejak awal telah diniatkan untuk dijadikan sebagai dana tabarru’ (dana kebajikan).
Dengan ditinjau dari sudut pandang emosional dan rasional, terlihat jelas bahwa sistem ekonomi syariah memiliki keuntungan yang falah. Ekonomi syariah diharapkan tidak lagi menjadi sebuah alternatif melainkan telah menjadi jalan hidup setiap orang. Kendatipun berangkat dari pemikiran islam, sistem ekonomi syariah tidak hanya ditujukan kepada umat muslim saja, tetapi bagi semua orang di dunia yang ingin bermuamalah secara adil dan transparan.
Artikel ini diikutsertakan dalam lomba karya tulis ekonomi syariah yang diadakan oleh GRES (Gerakan Ekonomi Syariah)
Sumber Bacaan :
DR. A Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. 2012.
http://hariprasetya.wordpress.com/2007/03/01/penjaminan-simpanan-di-bank-syariah/
Modul Materi Sharia Officer Development Program (SODP) BRI Syariah Angkatan