Saat ini, tidak sedikit orang yang memandang atau
memiliki persepsi bahwa marketing atau pemasaran itu hanya ilmu yang isinya
hanya seputar menjual produk, mendatangkan permintaan, mengkomunikasikan sebuah
produk kepada pelanggan atau calon pelanggan agar bersedia membeli. Apakah pembeli
tersebut benar-benar butuh, ingin secara alami atau karena rayuan-rayuan maut
para pemasar itu bukan urusan ilmu pemasaran. Oleh karena itu, ilmu dan praktek
pemasaran tidak jauh dari sebuah tindakan spekulasi, penipuan, manipulasi, dan
tindakan-tindakan tidak etis laiinnya.
Apakah anda percaya? Jika jawabannya YA, bias jadi anda pernah menjadi salah satu korban penipuan atau merasa dibohongi kemudian menyesal membeli sebuah produk padahal sebenarnya anda tidak membutuhkannya. Akhirnya, tidak sedikit orang yang bernasib sama menggerutu melalui social media dengan cara mengekspresikan kekesalan, atau kekecewaan mereka.
Perlu diketahui bahwa saat ini, konsumen semakin terkoneksi dan tanpa batas. Mereka sebagian besar adalah penghuni media social seperti Facebook, path, twitter, dan media-media ekspretif lainnya. Tidak ada yang bias melarang mereka mengekspresikan apapun yang mereka rasakan setelah mereka membeli, atau menggunakan produk yang telah dibelinya. Mereka juga tidak memiliki batasan apapun untuk berbagi cerita tersebut. Jika cerita yang mereka bagikan itu cerita positif, seperti pelayanan yang sopan, cepat, produk yang memuaskan sesuai harga yang mereka bayarkan maka bias dipastikan nasib baik menunggu perusahaan yang memproduksi produk yang mereka beli. Namun, apa jadinya jika yang diceritakan isinya kekecewaan, karena perusahaan tidak memberikan apa yang mereka janjikan? Inilah salah satu alasan mengapa para pelaku bisnis dianjutrkan bahwa diwajibkan untuk jujur, atau satunya kata dengan perbuatan, dan ini diajarkan oleh semua agama. Kelakuan oknum-oknum pemasar yang mengabaikan etika demi sebuah keuntungan seharusnya tidak diikuti.
Salah satu aspek dari spiritual marketing yang paling penting ialah aspek koneksi. Koneksi yang baik dan menguntungkan kedua belah pihak hanya bias terjadi ketika satunya kata dengan perbuatan. Saat ini perilaku seperti itu dikategorikan sebagai perilaku yang spektakuler dan aneh bin langka. Namun perlu diketahui ada dua alasan yang mengharuskan pebisnis, pemasar, atau sales berlaku jujur.
Pertama, jujur memang mahal, namun anda akan jauh membayar mahal untuk sebuah kebohongan. Kedua, anda perlu ingat apa yang anda jual adalah sebuah benda yang tidak sempurna, pasti memiliki kekuarangan, sehingga anda wajib bercerita kekuarangan dan kelebihannya. Jadi, bersikap jujur adalah bukan pelengkap dari berbagai deretan variable etika bisnis, namun sebuah keharusan. Bertahannya sebuah bisnis di pasar ditentukan oleh variable ini, bisnis yang dijalankan tidak jujur dipastikan akan keluar dari pasar, cepat atau lambat.