Stabilitas merupakan pondasi utama guna menciptakan daya saing nasional yang kompetitif, di antaranya untuk menghadapi implementasi Komunitas Ekonomi Asean pada 2015 mendatang.
Hendar, Deputi Gubernur BI, mengatakan bahwa sebagai otoritas moneter, BI senantiasa memantau kondisi ekonomi terkini. Bank Sentral juga selalu siap merespons berbagai tantangan yang tengah dan akan dihadapi di masa mendatang.
Menurutnya, sektor keuangan memiliki fungsi penting sebagai katalisator pertumbuhan nasional, khususnya dalam peningkatan kapasitas perekonomian.
Untuk menjaga stabilitas perekonomian, bauran kebijakan yang telah dihasilkan BI di antaranya adalah penaikan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 175 bps yang dimulai pada Juni 2013. BI Rate naik dari posisi 5,75% menjadi 7,5% dalam tiga tahap.
Menurut Hendar, kebijakan terkait suku bunga ini merupakan sebuah keputusan yang berorientasi jauh ke depan untuk mengelola ekspektasi inflasi. Kebijakan ini diambil saat emerging market lainnya bahkan belum melakukan pengetatan suku bunga.
Dalam mengelola nilai tukar, BI membiarkan rupiah lebih fleksibel dengan nilai sesuai dengan faktor-faktor fundamentalnya.
BI juga memperkuat operasi moneter, kebijakan makroprudensial, serta melakukan pendalaman pasar keuangan untuk meredam gejolak dan potensi risiko di pasar keuangan baik global maupun domestik. Selain itu, Bank Sentral juga berupaya terus meningkatkan kualitas koordinasi dengan pemerintah.
Hendar menilai strategi tersebut tepat dan berjalan secara efektif. Simpulan itu merujuk pada berbagai indikator yang menunjukkan bahwa bauran kebijakan yang telah diambil mulai menunjukkan hasil.
Pertumbuhan ekonomi 2013 bisa tumbuh dengan tingkat yang lebih sehat sebesar 5,8%, cukup kuat untuk digunakan sebagai cushion aktivitas perekonomian.
Tingkat inflasi telah kembali ke lintasan normal setelah meningkat tajam pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 2013. Inflasi Maret 2014 sebesar 7,23% (yoy) menunjukkan tren penurunan yang maish terus berlanjut.
Pada sisi eksternal, defisit current ratio juga bergerak ke arah yang lebih sehat dan pada tingkat yang suistanable. Defisit neraca pada triwulan terakhir 2013 tercatat 1,98% dari produk domestik bruto (PDB), menurun dibandingkan posisi pada triwulan sebelumnya sebesar 3.85% dari PDB.
Kinerja perdagangan pun terus membaik. Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatat surplus 0,79 miliar dolar AS pada Februari 2014, yang didukung surplus neraca perdagangan nonmigas.
Pada akhirnya, fundamental perekonomian yang baik menghasilkan dampak positif pada nilai tukar Rupiah. Pada akhir Maret 2014, Rupiah telah mengalami apresiasi 6.62% (year to date) dan premi credit default swap turun dari 223 bps pada Desember 2013 ke 178 bps.
Seluruh indikator positif tersebut pada akhirnya telah membawa perekonomian Indonesia lepas dari kelompok the fragile five.